KETIKA SAWAH MENJADI RUMAH, DAN DOA MENJADI PESTA

 Kenduri Blang

  Di Desa Pawoh, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kenduri Blang bukan sekadar acara makan-makan. Ia adalah ritual sakral, tradisi turun-temurun yang dilaksanakan masyarakat sebagai bentuk syukur kepada Allah atas rezeki yang ditanam dan dipanen dari sawah. “Blang” berarti sawah, dan “kenduri” berarti doa bersama yang disertai jamuan. Maka, Kenduri Blang adalah perjamuan syukur di tengah alam—dilaksanakan bukan di gedung, tapi di tengah-tengah petak sawah, tempat kehidupan tumbuh dari tanah.Tradisi ini biasanya di lakukan saat menjelang musim tanam dan musim panen akan tiba . Para warga sangat antusias dalam menyambut kenduri blang,dengan suka ria dan penuh haru.

  Semua warga desa terlibat, mulai dari petani yang akan mengolah sawah, tokoh agama yang memimpin doa, hingga anak-anak yang dengan ceria menyambut suasana kenduri. Kaum perempuan membawa aneka hidangan seperti kuah beulangong, nasi putih hangat, dan sambal, yang dimasak bersama dengan semangat gotong royong. Para pemuda membantu mempersiapkan tempat, dan para tetua adat menjaga agar tata cara dan nilai-nilai tradisi tetap dijunjung.

  Kenduri Blang biasanya dilakukan menjelang musim tanam, saat sawah mulai digarap. Waktu pelaksanaannya berbeda-beda tergantung cuaca dan kesiapan masyarakat, namun umumnya jatuh antara akhir musim hujan dan awal musim tanam padi. Ini adalah saat yang dianggap penuh harapan, ketika benih akan segera bersatu dengan tanah, dan harapan akan hasil panen yang baik pun mulai tumbuh.

  Kenduri Blang dilangsungkan langsung di area sawah, biasanya di satu titik terbuka yang mudah diakses. Di Desa Pawoh, warga akan membangun semacam tenda atau terpal sederhana di pinggir sawah, atau cukup beralas tikar. Alam menjadi atapnya, dan langit menjadi saksi syukur yang dilantunkan.

  Karena Kenduri Blang bukan hanya tentang panen atau hasil pertanian, tapi tentang hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Tradisi ini mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, rasa syukur, dan kepercayaan bahwa hasil kerja keras manusia tetap butuh restu dari Yang Maha Kuasa. Di tengah modernisasi dan kesibukan zaman, nilai-nilai seperti inilah yang makin langka—dan justru harus dijaga.

  Acara diawali dengan pembacaan doa bersama, biasanya dipimpin oleh seorang tokoh agama atau imam kampung. Setelah doa, semua makanan yang dibawa oleh warga disusun membentuk satu lingkaran besar, lalu disantap bersama-sama. Tidak ada kasta, tidak ada perbedaan—semua bersatu dalam niat yang sama: memohon berkah.

Tradisi Serupa di Daerah Lain

  Aceh tidak sendirian. Di Minangkabau, Sumatera Barat, ada tradisi “Turun Ka Sawah” yang juga ditandai dengan doa dan gotong royong sebelum musim tanam. Di Bali, masyarakat Subak melaksanakan ritual Dewa Yadnya sebelum dan sesudah bercocok tanam. Di Jawa, dikenal pula “Wiitan” atau “Sedekah Bumi”, yang intinya adalah mengungkapkan syukur atas tanah dan hasil pertanian.

Menjaga Warisan Leluhur

  Kenduri Blang di Desa Pawoh adalah bukti bahwa warisan budaya bukan hanya sejarah, tapi napas hidup masyarakat. Ia bukan hanya tentang masa lalu—tapi tentang bagaimana kita menjaga masa depan dengan akar yang kuat. Jika kita lupa bersyukur dan lupa pada tanah, maka kita bukan hanya kehilangan panen, tapi kehilangan jati diri.

 Jadi, ketika kamu melintasi desa Pawoh di suatu musim tanam, tengoklah ke sawah. Di sanalah kamu mungkin akan menemukan bukan hanya petani dan padi—tapi warisan yang hidup, dan doa-doa yang ditanam bersama benih-benih harapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASAKAN KASIH SAYANG

KALAU PULANG KAMPUNG, WAJIB MAKAN INII...